Powered By Blogger

Rabu, 11 Mei 2016

A True Leader

Salah satu unsur esensial dalam diri seorang pemimpin “yang benar-benar memimpin” adalah melayani atau mengabdi. Memimpin itu berarti melayani, memimpin itu berarti mengabdi. Tanpa unsur pelayanan ini, unsur kepemimpinan yang lain itu paling banter hanya memungkinkan seorang menjadi seorang pemimpin yang terampil (a skilled leader), seorang pemimpin yang mampu (a capable leader), tapi belum bisa memberinya kualifikasi sebagai seorang pemimpin yang sejati (a true leader).

Pemimpin sejati mesti punya sikap mental seorang pelayan. Mesti punya motivasi seorang abdi. Mesti bersikap dan bertindak bak seorang hamba. Ia adalah seorang pemimpin yang menghamba sekaligus hamba yang memipin.
Sayang sekali, terminologi yang merupakan kata kunci yang begitu sentral, cenderung menjadi sebuah kata murahan dalam praktik. Harus diakui bahwa melayani di mata banyak orang bukan pekerjaan bergengsi. Oleh karena itu, melakukannya membutuhkan kerendahan hati dan komitmen. Perlu dicatat, bahwa untuk melayani, maka prasyarat yang paling utama adalah seorang pemimpin yang murni dan tulus hatinya (a man of the heart), punya integritas moral yang tinggi (a man with integrity). Tepat sekali ungkapan yang mengatakan bahwa masalah yang paling inti dalam kepemimpinan adalah masalah hati. The heart of the problem is the problem of the heart.
Kata orang “kita punya cukup banyak pemimpin dengan kemampuan tinggi, tapi yang berhati murni? Sangat jarang!
------------------
سيد القوم خادمهم

Minggu, 03 November 2013

Daulah Khulafa' ar-Rasyidin


A.          Pengertian Khulafaur ar-Rasyidin
Menurut bahasa, kata Khulafaur ar-Rasyidiin terdiri dari dua kata, yaitu: kata khulafa, jama’ dari kata khalifah yang berarti pengganti. Jadi kata khulafa berarti para pengganti. Dengan kata lain khulafa adalah orang yang ditunjuk sebagai pengganti atau pemimpin umat Islam. Sedangkan kata Ar-Rasyidiin sendiri mempunyai arti orang-orang yang arif dan bijaksana. Dengan demikian Khulafaur ar-Rasyidiin berarti beberapa khalifah yang arif dan  bijaksana dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai penerus Nabi dalam memimpin umat Islam dengan menegakkan agama Allah dan menjalankan semua perintah-perintah-Nya.
Istilah khulafa’ ar-Rasyidin berasal dari sebuah riwayat yang disandarkan pada nabi Muhammad saw. Dalam riwayat tersebut dikatakan bahwa nabi Muhammad saw. bersabda:
“Umatku akan terpecah-pecah menjadi 73 golongan, semuanya akan ditempatkan di neraka, kecuali satu golongan saja. Apa yang satu golongan itu ? Tanya seseorang sahabat. Nabi saw menjawab; kelompok ahlussunnah wal jama’ah”. Sahabat bertanya lagi; siapa mereka? Nabi saw. Menjawab; mereka  yang taat pada sunnahku dan sunnah al-Khulafa ar-Rasyidin.”[1]
Di samping hadist tersebut, masih ada sejumlah hadist dari Nabi SAW. Yang merupakan prediksi dari zamannya. Diantara riwayat tersebut dijelaskan bahwa Nabi SAW. Bersabda:
“Pemerintahan dalam bentuk khulafah (sesudahku) akan berlangsung selama 30 tahun; setelah itu akan menjadi kerajaan”
Jalal al-Din as-suyuthi mengutip pendapat ulama’ yang menjelaskan hadist tersebut dengan berkata:
“ Tiga puluh tahun sesudah nabi saw. Wafat adalah pemerintahan khalifah yang empat dan beberapa hari pemerintahan Hasan”[2].
Imam al-Bazzar meriwayatkan dari Abu Ubaidilah ibn al-Jarrah yang menyatakan bahwa nabi saw. Bersabda:
“Sesungguhnya fase awal agama kalian dimulai dengan fase kenabian dan rahmah, setelah itu fase khilafah dan rahmah, tetapi kemudian menjadi kerajaan yang penuh dengan pemaksaan.”[3]
Dalam tiga hadist tersebut terdapat dua term mengenai kepemimpinan setelah Nabi. Pertama, al-khulafa’ ar-rasyidin; dan kedua, al-khilafat. Akan tetapi, dalam sejarah pada umunya tidak terdapat penafsiran tunggal yang dimonopoli oleh ulama’ atau aliran  tertentu. Jalal al-Din telah menangkap salah satu penafsiran mengenai cakupan khilafat atau khulafa’ ar-rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali ibn Abi Thalib. Ini adalah pendapat umum yang cenderung diterima umat islam secara umum.
Terdapat sejumlah riwayat yang berbeda dengan pendapat umum tersebut. Pertama, dalam sebagian riwayat dinyatakan bahwa yang termasuk khulafa’ ar-rasyidin adalah lima, yaitu Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Abdul Aziz. Hal ini sejalan dengan perkataan Sufyan Ats-Tsauri:“Pemerintah khalifah itu lima: Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali ibn Abi Thalib dan Umar ibn Abdul Aziz” Masih banyak lagi riwayat yang berbeda yang menjelaskan bahwa al-khulafa’ ar-rasyidin itu ada lima dengan term yang berbeda-beda tetapi maknanya sama. Misalnya menggunakan term a’immat al-adl (para imam yang adil) a’immat al-huda (para pemimpin yang mendapatkan petunjuk).
Kedua, dalam sebagian riwayat dinyatakan  bahwa al-khulafa’ ar-rasyidin itu bukan lima dan juga bukan pula empat, tetapi tiga. Riwayat tersebut adalah:
“Syuhail ibn Abbas menceritakan kepadaku yang bersumber dari ibn Ishaq, Ibrahim bin Uqbah, Atha’ maula ummu Bakr al-Asalmiyah, dan Habib ibn Hind al-Islami berkata: “Sa’id ibn al-Musayyab berkata kepadaku ketika aku dan dia sedang di Arafah. Sesungguhnya khalifah itu ada tiga “ Aku bertanya: siapakah mereka? Ia menjawab : Abu Bakar, Umar, dan Umar (yakni Umar ibn Abdul Aziz) aku bertanya lagi: “Abu Bakr dan Umar aku sudah mengenalnya, tetapi Umar yang satu itu siapa? Ia menjawab “ bila engkau masih hidup, engkau akan mendapatkannya dan mengenalnya, tapi apabila engkau mati sekarang, ia akan ada setelahmu”
Riwayat-riwayat diatas menunjukkan bahwa secara tekhnis , al-khulafa’ ar-rasyidin mungkin berasal dari Nabi saw, meskipun periwayatannya cenderung dengan makna, tidak dengan lafadznya. Akan tetapi cakupan yang dikandungnya adalah ijtihad ulama’ bukan berdasarkan riwayat Nabi saw. Oleh karena itu, Ibnu al-Musayyab berpendapat bahwa khalifah yang rasyidin itu hanya tiga, yaitu Abu bakar, Umar ibn Khaththab, dan Umar ibn Abdul Aziz. Jalal al-Din as-suyuthi dan ulama’ pada umumnya berpendapat bahwa al-khulafa’ ar-rasyidin itu empat yaitu; Abu bakar, Umar ibn khatab, Ustman bin affan dan Ali ibn abi thalib ,sedang Sufyan ats sauri berpendapat bahwa al-khulafa’ ar-rasyidin itu lima : Abu bakar, Umar ibn khatab, Ustman bin affan , Ali ibn abi thalib dan Umar ibn abdul aziz. Namun dalam makalah ini pemakalah mengambil pendapat yang umumnya dikemukakan oleh para ulama’ yakni al-Khulafa’ ar-Rasyidin terdiri dari empat orang.
Daulat al-khulafa’ ar-rasyidin yang berkedudukan di Madinah berkuasa  hanya 30 tahun menurut kalender Hijriyah ataupun 29 tahun menurut kalender Masehi (11-41 H/632-661 M). Meskipun pemerintahan yang teramat singkat bukan berarti tidak memiliki pengaruh kepada kelanjutan agama islam. Sejarah mencatat masa al-khulafa’ ar-rasyidin masa yang sangat menetukan sekali bagi kelanjutan agama islam dan bagi perkembangan kekuatan agama islam.
Daulat ini bermakna dinasti, yakni kebijaksanaannya para penguasa adalah yang tertinggi namun di dalam daulat al-khulafa’ ar-rasyidin para pejabat kekuasaan tertinggi dipilih dan diangkat berdasarkan permufakatan dan persetujuan masyarakat islam dewasa itu. Dan garis kebijaksanaan yang dijalankan dapat dikatakan bersamaan.

Sabtu, 26 Januari 2013

Lebih Bijak dalam Menghadapi Perbedaan

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulnya dan para pemegang pemerintahan. Jika kalian berselisih pendapat dalam suatu hal, maka kembalikanlah urusan itu pada Allah (al-Quran) dan Rasulnya (sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisa: 59)
“Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegangan dengannya, yaitu Kitabullah (Al Qur’an) dan sunnah Rasulullah Saw”. (HR. Muslim)


           Perbedaan dalam masalah agama adalah suatu keniscayaan. Karakter agama yang universal harus bisa menyesuaikan diri dalam konteks waktu dan tempat. Perbedaan ini pada tataran akademis adalah hal yang wajar dan diperbolehkan, namun jika menimbulkan fanatisme yang pada akhirnya menimbulkan perpecahan, bahkan permusuhan, maka hal inilah yang tidak diperbolehkan. Dalam bahasa agama, perbedaan diistilahkan dengan “ikhtilaf” dan kadang disebut dengan “khilaf”. Keduanya memiliki arti yang sama, yakni adamul ittifaq artinya tiadanya kesepakatan dalam suatu hal.

Ikhtilaf ini ada beberapa macam, yaitu :
1. Ikhtilaf Tanawwu’, yakni perbedaan pendapat yang hanya bersifat variatif, antara satu dengan yang lain tidak saling bertentangan, hanya memiliki wajah yang berbeda. Misalnya macam-macam versi tentang doa iftitah, macam-macam cara gerakan sholat, dan lain-lain. Biasanya ikhtilaf tanawwu’ ini hanya terjadi pada masalah furu’iyyah (cabang), bukan pada masalah yang ushuliyyah (prinsipil). Dalam ikhtilaf ini tidak ada pendapat yang salah karena masing-masing punya landasan yang shohih.
2. Ikhtilaf Tadhod, yakni perbedaan pendapat yang antara satu pendapat dengan pendapat yang lain saling bertentangan. Misalnya perbedaan pendapat dalam menghukumi suatu makanan tertentu, apakah ini halal atau haram.
3. Ikhtilaf al-Afham, yakni perbedaan pendapat yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman dan sudut pandang Ulama dalam memandang dan memahami suatu masalah.

Ada beberapa sebab munculnya perbedaan pendapat dalam hal agama. Sebab-sebab itu adakalanya bersifat wajar, karena memang suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari